Perjodohan


 

Tradisi perjodohan masih berlangsung hingga saat ini. Di antara alasan orang tua menjodohkan anaknya adalah untuk menjaga trah atau nasab. Gus Rifqil Muslim Suyuthi dan Ning Imaz Fatimatuz Zahra menjelaskan bagaimana sikap yang harus dilakukan seorang anak jika dijodohkan oleh orang tuanya. Menurut Gus Rifqil, sebagian anak tidak bisa menolak jodoh pilihan orang tuanya. Alasan umum yang sering disampaikan adalah ingin membahagiakan orang tua atau tidak mau mengecewakan orang tua. "Kalau niatnya memang sudah benar mau membahagiakan orang tua, kamu harus siap dengan segala konsekuensinya," kata Gus Rifqil dalam tayangan Youtube NU Online: 5 Tips saat Dijodohkan diakses Selasa (6/6/2023).

Di antara konsekuensi tersebut, sambung Gus Rifqil, adalah harus siap menjadi suami atau istri yang baik walaupun pada saat yang sama rasa cinta itu belum tumbuh dalam hatinya. "Sebenarnya ini tidak perlu terjadi, kamu memaksakan untuk mencintai, ketika di awal sebelum menikah berani untuk mengatakan 'tidak' kepada orang tuanya," ucap Gus Rifqil.

Masalahnya, kata Gus Rifqil, banyak orang yang tidak berani menolak perjodohan dengan dalih tidak mau menyakiti orang tua atau mau membahagiakan orang tua dengan cara menikah.

"Tapi akan menimbulkan masalah baru ketika setelah menikah justru pernikahannya tidak harmonis, tidak cinta, mungkin punya pria idaman lain atau wanita idaman lain," kata Gus Rifqil. Menurutnya, harus ada ketegasan dan kejelasan terhadap pilihan seorang anak. Jika memang benar ingin membahagiakan orang tua, seorang anak harus berkomitmen untuk meninggalkan semua masa lalu dan fokus pada masa depan dengan jodoh pilihan orang tua.   "Fokus ke istrimu, fokus ke suamimu karena kamu sudah siap untuk menikah. Tapi kalau memang tidak mau, ya dari awal bilang; saya tidak mau karena saya sudah punya calon," tambahnya.

Jika pernikahan tersebut dipaksakan, Gus Rifqil menyebutnya ‘memubadzirkan perkara yang halal’. Diceritakannya, akibat tidak adanya komitmen itu, ada orang yang hanya sebatas melakukan formalitas; yang penting menikah setelah itu cerai. “Bahkan ada juga istrinya belum belum disentuh sama sekali tapi statusnya masih menikah. Ini lebih menyiksa lagi dan itu dosa, na’udzubillah,” jelasnya. Mengingat hal tersebut, Gus Rifqil menegaskan bahwa jika ada perjodohan, seorang anak harus berani berkomitmen dengan segala konsekuensi dari keputusan yang akan diambil. Berkomunikasi dengan baik Sementara itu, Ning Imaz menjelaskan bahwa jika terjebak dalam situasi perjodohan, seorang anak mestinya mampu berkomunikasi dengan baik pada orang tuanya. “Jadi kalau misalnya tidak mampu menjalani kehidupan dengan pilihan orang tua, utarakan saya belum bisa, saya tidak mampu, begini alasannya. Harus ada kompromi dan komunikasi yang baik. Insyaallah jika jalannya baik, caranya baik pasti orang tua akan menerima,” jelasnya.   Menurut Ning Imaz, tidak masalah jika di awal perjodohan belum bisa menerima 100 persen, asalkan sejak awal sudah membangun komitmen karena dalam prosesnya bisa diupayakan. “Jika dari awal komitmen anggaplah 60 persen itu sudah lebih baik daripada dari awal benar-benar tidak ada sama sekali,” imbuhnya. Ning Imaz menegaskan, dalam mengarungi bahtera rumah tangga tidak selalu berjalan mulus. Mengingat hal tersebut, ia mendorong kepada orang yang akan menikah untuk menyiapkan diri dengan kesungguhan diri agar terbentuk mental dan spiritual yang matang. 

Pewarta: Aiz Luthfi

Editor: Kendi Setiawan

Sumber: https://www.nu.or.id/nasional/bagaimana-seharusnya-sikap-anak-jika-dijodohkan-orang-tua-ini-jawaban-gus-rifqil-dan-ning-imaz-Tvg5s

___

Download NU Online Super App, aplikasi keislaman terlengkap! https://nu.or.id/superapp (Android/iOS)



Ada perspektif lainnya


Perjodohan adalah salah satu cara yang ditempuh masyarakat dalam menikah. Tak ada ketentuan dalam syariat yang mengharuskan atau sebaliknya melarang perjodohan. Islam hanya menekankan bahwa hendaknya seorang muslim mencari calon istri yang shalihah dan baik agamanya. Begitu pula sebaliknya.

Pernikahan dalam Islam merupakan nikmat Allah yang sepatutnya disyukuri oleh setiap insan yang bernyawa, karena dengan pernikahan kita banyak mendapatkan kemanfaataan. Dan jangan lupa, menikahlah dengan insan yang kau senangi. Allah mensyariatkan perihal tersebut dalam firman-Nya:

فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ

Artinya“Maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi” (QS. an-Nisa: 3)

Ringkasnya, perjodohan hanyalah salah satu cara untuk menikahkan. Orang tua dapat menjodohkan anaknya. Tapi hendaknya meminta izin dan persetujuan dari anaknya, agar pernikahan yang diselenggarakan, didasarkan pada keridhaan masing-masing pihak, bukan keterpaksaan. Pernikahan yang dibangun di atas dasar keterpaksaan, jika terus berlanjut akan mengganggu keharmonisan rumah tangga. Wallahu a’lam.

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لَا تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى‎ ‎تُسْتَأْمَرَ وَلَا تُنْكَحُ‏‎ ‎الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ‏‎ ‎قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ‏‎ ‎وَكَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ أَنْ‏‎ ‎تَسْكُتَ

Artinya: “Tidak boleh menikahkan seorang janda sebelum dimusyawarahkan dengannya dan tidak boleh menikahkan anak gadis (perawan) sebelum meminta izin darinya.” Mereka bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimana mengetahui izinnya?” Beliau menjawab, “Dengan ia diam.” (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 1419)

Di antara kemuliaan yang Allah Ta’ala berikan kepada kaum wanita setelah datang Islam adalah bahwa mereka mempunyai hak penuh dalam menerima atau menolak suatu lamaran atau pernikahan, yang mana hak ini dulunya tidak dimiliki oleh kaum wanita di zaman jahiliah. Karenanya tidak boleh bagi wali wanita manapun untuk memaksa wanita yang dia walikan untuk menikahi lelaki yang wanita itu tidak senangi.

Lantas berdosakah seorang anak yang menolak perjodohan orang tuanya dan apakah anak tersebut dikatakan durhaka karena penolakannya?

وعن ابن عباس رضي الله عنهما “أن جارية بكرا أتت النبي صلى الله عليه وسلم فذكرت أن أباها زوجها وهي كارهة فخيرها رسول الله صلى الله عليه وسلم” رواه أحمد وأبو داود وابن ماجه

Artinya: "Dari sahabat Ibnu Abbas radliyallahu ‘anhuma, beliau berkata: Telah datang seorang gadis muda terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ia mengadu bahwa ayahnya telah menikahkanya dengan laki-laki yang tidak ia cintai, maka Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam memberikan pilihan kepadanya (melanjutkan pernikahan atau berpisah)". (HR. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah).

Maka berdasarkan hadits tersebut diatas, penolakan seorang anak terhadap perjodohan orang tuanya adalah tidak berdosa dan tidak dikategorikan sebagai sikap durhaka dengan sebuah catatan penolakan tersebut harus dilakukan dengan cara dan ucapan yang bijak sehingga tidak menyakiti hati dan perasaan orang tua.

Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhu bahwasannya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

الثَّيِّبُ أَحَقُّ‏‎ ‎بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا‎ ‎وَالْبِكْرُ يَسْتَأْذِنُهَا‎ ‎أَبُوهَا فِي نَفْسِهَا‎ ‎وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا

Artinya: “Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan perawan maka ayahnya harus meminta persetujuan dari dirinya. Dan persetujuannya adalah diamnya.” (HR. Muslim no. 1421).

Hukum pernikahan dalam Islam yang sesuai dengan syariat adalah dengan adanya keridhaan dari kedua calon mempelai.  Jelas sudah jika satu tak ridha, atau nikah dengan terpaksa maka pernikahan tersebut tidak sesuai syariat Islam dan dilarang dalam syariat.

Syaikh Abdurrahamn as-Sa’di rahimahullah  memaparkan dalam al-Majmu’ah al-Kamilah li Muallafat bahwa tidak boleh bagi ayah perempuan itu untuk memaksa dan tidak boleh pula bagi ibunya untuk memaksa anak perempuan itu menikah, meski keduanya ridha dengam keadaan agama dari lelaki tersebut.

Silmi Adawiya (Alumnus Unhasy dan Pesantren Putri Walisongo, kini mahasiswi Pascasarjana UIN Jakarta)

Comments

Popular posts from this blog

laporan

Dawuh Masyaikh

referensi Submit jurnal