PSIKOLOGI SOSIAL
[18.41, 27/4/2022] مُحَمَّدْ أَمَرُدِىنْ: PERBEDAAN REGULASI EMOSI PEREMPUAN DAN LAKI-LAKI DI PERGURUAN TINGGI
Shinantya Ratnasari & Julia Suleeman, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Depok
Dalam usaha memahami perbedaan aspek emosional antara perempuan dan laki-laki, muncul pertanyaan apakah perbedaan itu juga mencakup perbedaan pengelolaan emosi. Lebih jauh lagi,dipertanyakan, apakah perbedaan itu bersifat alamiah atau merupakan hasil perbedaan pengasuhan dan budaya (lihat di antaranya Brody & Hall, 1993; Fischer, 1993, 2000; Manstead, 1992; Shields,1991, 2000; Fischer & Manstead, 2004).regulasi emosi pun dipengaruhi oleh sosialisasi, termasuk dalam menghasilkan perbedaan antara regulasi emosi pada perempuan dan regulasi emosi pada laki-laki.
Beberapa penelitian menghubungkan regulasi emosi dengan pendidikan dan pola asuh keluarga sebagai bagian dari sosialisasi (di antaranya Greenberg, Kusche, Cook, & Quamma, 1995;Eisenberg, Spinrad, and Cumberland, 1998; Rothbart & Bates, 2006; Cohen & Mendez, 2009; Cole, Dennis, Smith-Simon, & Cohen, 2009). Penelitian ini hendak mengkaji perbedaan antara regulasi emosi pada perempuan dan regulasi emosi pada laki-laki khususnya mereka yang sedang menjalani pendidikan tinggi atau berstatus sebagai mahasiswa. Penelitian ini merupakan langkah awal untuk memahami dan menjelaskan pengaruh pendidikan sebagai bagian dari proses sosialisasi terhadap emosi dan regulasi emosi.
Gross (1998, 2007) mendefinisikan regulasi emosi sebagai cara individu mempengaruhi emosi yang mereka miliki, kapan mereka merasakannya dan bagaimana mereka mengalami atau mengekspresikan emosi itu. Ada dua strategi regulasi emosi: (1) Cognitive Reappraisal (penimbangan ulang kognitif) adalah bentuk perubahan kognitif yang melibatkan situasi inti emosi yang potensial sehingga mengubah pengaruh emosional. (2) Expressive Suppression (penekanan secara sadar ekspresi emosi) adalah bentuk pengungkapan respon yang memperlambat perilaku mengekspresikan emosi yang sedang dialami (Gross,1998).Cognitive reappraisal terjadi di awal proses generatif emosi, sedangkan expressive suppression terjadi belakangan.Gross menyimpulkan cognitive reappraisal dapat memodifikasi kesuluruhan tahapan emosi sebelum kecenderungan respon emosi terbentuk dengan utuh. Reappraisal (penimbangan ulang) akan mengarah pada berkurangnya pengalaman dan ekspresi emosi yang negatif. Biasanya diperlukan sedikit tambahan sumberpikiran untuk mengimplementasikan hasil perubahan kognitif dan memproduksi perilaku interpersonal. Setelah itu,dengan wajar orang yang melakukan cognitive reappraisal akan fokus terhadap interaksi dengan pasangan interaksinya dan baik tingkahlakunya sendiri maupun tingkahlaku orang lain akan diterima sebagai ungkapan dan respon emosional.Sebaliknya, expressive suppression yang datang belakangan dan pada dasarnya merupakan kegiatan memodifikasi aspek tingkahlaku dari kecenderungan respon emosi tanpa mengurangi pengalaman emosi negatif. Hal ini membutuhkan usaha yang keras untuk mengatur kecenderungan respon emosi yang muncul terus-menerus. Usaha yang berulang ini akan menghabiskan sumber pikiran yang seharusnya dapat digunakan untuk mengoptimalkan kinerja dalam konteks sosial yang mengandung juga berbagai macam emosi. Terlebih lagi, supression akan menimbulkan ketidaksesuaian antara pengalaman dalam diri individu (inner experience) dan ekspresi yang dikeluarkan (outer expression). Hal ini menjurus pada perasaan tidak otentik (inauthenticity) atau kepura-puraan dan menghambat pengembangan hubungan emosional yang dekat.
Model regulasi emosi yang dikemukakan oleh Gross merupakan model yang melengkapi beberapa model regulasi emosi terdahulu. Dibandingkan dengan model regulasi emosi dari Frijda (1986), model yang diajukan Gross lebih komprehensif karena mempertimbangkan aspek ketidaksadaran dalam regulasi emosi.Gross (199…
[20.03, 27/4/2022] مُحَمَّدْ أَمَرُدِىنْ: PENGGUNAAN SMARTPHONE DAN LOCUS OF CONTROL: KETERKAITANNYA DENGAN PRESTASI BELAJAR, KUALITAS TIDUR DAN SUBJECTIVE WELL-BEING
Dedy Susanto, Badan Pusat Statistik Provinsi Papua, Jayapura
Indonesia merupakan negara pengguna smartphone yang tinggi. Data TNS Infratest Germany mencatat 43,3% penduduk Indonesia menggunakan smartphone dan 3,9% menggunakan tablet (smartphone yang memiliki layar lebih lebar) pada bulan Maret tahun 2015.Lalu, data Vserv Smart Data mengungkapkan rata-rata pengguna smartphone di Indonesia menghabiskan waktu sebanyak 129 menit per harinya. Dari fakta tersebut dapat diketahui bahwa penggunaan internet di Indonesia cukup besar.Menurut data dari TNS Infratest Germany pengguna dengan kelompok umur kurang dari 25 tahun mayoritas menggunakan smartphone dengan persentase hampir 80% pada Mei 2015. Dari data diatas, kelompok umur yang paling terekspos smartphone ialah usia kurang dari 25 tahun yang merupakan kelompok remaja. Oleh karena itu, dengan banyaknya pengguna smartphone dikalangan remaja, maka remaja akan memiliki peluang yang tinggi untuk terpapar dampak negatif dari penggunaan smartphone, seperti: menurunnya prestasi belajar (Jacobsen & Forste, 2011), penurunan kuantitas dan kualitas tidur (Lanaj, Johnson, & Barnes, 2014), buruknya kesehatan mental (Harwood, Dooley, Scott, &vJoiner, 2014), mengurangi olahraga kardio (Barkley, Lepp, & Salehi-Esfahani,2015), mengurangi tingkat kepuasan hidup (Lepp, Barkley, & Karpinski, 2014).
pengaruh penggunaan smartphone terhadap dampak negatif yang ditimbulkan dan sangat penting untuk mengeksplorasi lebih jauh latar belakang hubungan tersebut terutama lewat sisi psikologis. Sisi psikologis yang menjadi perhatian khusus dalam penelitian ini adalah locus of control (LOC) dari seseorang/individu. Lalu, besarnya penggunaan smartphone di kalangan remaja membuat peneliti tertarik untuk mengkaji lebih mendalam pengaruh LOC terhadap penggunaan smartphone remaja khususnya mahasiswa; dan bagaimana pengaruhnya keduanya terhadap beberapa out come yang paling dekat dalam kehidupan mahasiswa sehari-hari seperti prestasi belajar, kualitas tidur, dan penilaian kualitas hidup subjektif yang diukur dari tingkat subjective well-being (SWB).
Dalam studi kasus yang telah dilakukan, terdapat banyak studi terdahulu yang meneliti tentang pengaruh penggunaan smartphone dan LOC terhadap prestasi belajar, kualitas tidur, dan SWB, namun pengujiannya hanya melibatkan 2-3 variabel, sehingga hanya memeriksa hubungan sederhana antarvariabel. Untuk itu, peneliti akan menguji secara simultan semua variabel yang diteliti sehingga diharapkan akan terciptanya model dan hasil analisis statistik yang lebih lengkap. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengetahui gambaran penggunaan smartphone, LOC, prestasi belajar, kualitas tidur, dan subjective well-being; serta (2) Menganalisis secara simultan pengaruh penggunaan smartphone dan LOC terhadap prestasi belajar, kualitas tidur, dan subjective well-being.
Locus of control (LOC) merupakan suatu persepsi kejadian oleh seseorang baik merupakan hasil dari tingkah lakunya maupun faktor-faktor lingkungan yang memengaruhinya, seperti keberuntungan, takdir, dan sebagainya. Namun, jika individu tersebut memiliki persepsi bahwa suatu kejadian disebabkan oleh tindakan atau sifat/karakteristik dirinya sendiri, maka dapat disimpulkan dia memiliki pengendalian internal (Rotter, 1966).
prestasi belajar merupakan suatu pembangunan multidimensi (Stipek & Weisz dalam Pop, NegruSubtirica, Crocetti, Opre, & Meeus, 2016), lebih banyak dioperasikan pada penilaian remaja yang didapatkan di sekolah, khususnya pada Indeks Prestasi (Poropat dalam Pop dkk., 2016). Salah satu indikator pengukuran prestasi belajar mahasiswa adalah Indeks Prestasi (IP). IP merupakan indikator prestasi belajar yang reliabel (Bacon & Bean dalam Pop dkk., 2016) dan merupakan prediktor yang kuat untuk beberapa hasil yang penting seperti prestasi belajar (Kuncel dalam Pop dkk., 2016), performa kerja (Roth dalam Pop dkk., 2016), dan status pekerjaan (Strenze dalam Pop dkk., 2016).
Jarvis dalam Naibaho (2013), Kualitas tidur merupakan kemampuan seseorang untuk mempertahankan tidur dan bangun dengan jumlah Rapid Eye Movement (REM) dan Non-rapid Eye Movement (NREM); merupakan siklus tidur yang terdiri empat tahap yang menunjukan perlambatan denyut jantung dan laju pernafasan, gerakan mata yang lambat, relaksasinya otot kecuali otot wajah dan leher (DeLaune & Ladner, 2002). Kualitas tidur dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti (DeLaune & Ladner, 2002): tingkat kenyamanan, kecemasan, lingkungan, gaya hidup, makanan, obat, dan norma budaya.
Fini dan Yousefzadeh (2011) menyatakan bahwa terdapat hubungan signifikan yang positif antara LOC internal dan prestasi belajar. Selanjutnya, semakin tinggi tingkat persepsi kontrol diri maka akan meningkatkan kualitas tidur seseorang (Vincent, Walsh, & Chiang, 2013), penggunaan smartphone juga dihubungkan dengan insomnia dan gangguan tidur (Jenaro dalam Sahin, Ozdemir, Unsal, &Temiz, 2013; Al-Khleiwi dalam Sahin dkk., 2013). Terakhir, Klonowicz (2001) menemukan bahwa seseorang yang memiliki LOC eksternal dilaporkan memiliki tingkat SWB yang lebih rendah dibandingkan yang internal.
Berikut model penelitian yang dibangun peneliti dengan memperhatikan integrasi model path analysis yang menerangkan hubungan antarvariabel berdasarkan model statistik Li, Lepp, dan Barkley. (2015) yang terlihat pada Gambar 1.
Berdasarkan model penelitian tersebut, maka dibangunlah beberapa hipotesis yang menunjukan pengaruh antar-variabel, yakni sebagai berikut: (1) H1 dan H2: total waktu penggunaan smartphone (Total_S) memiliki pengaruh positif terhadap penggunaan smartphone disaat belajar sendiri (S_Study) dan diwaktu tidur (S_Sleep); (2) H3 dan H4: LOC internal memiliki pengaruh negatif terhadap penggunaan smartphone disaat belajar sendiri (S_Study) dan diwaktu tidur (S_Sleep); (3) H5 dan H6: penggunaan smartphone diwaktu tidur (S_Sleep) memiliki pengaruh negatif terhadap kualitas tidur (Sleep_Q) dan locus of contol (LOC) internal memiliki pengaruh positif terhadap kualitas tidur (Sleep_Q); (4) H7 dan H8: penggunaan smartphone disaat belajar sendiri (S_Study) berpengaruhi negatif terhadap prestasi belajar (IP) dan LOC internal memiliki pengaruh positif terhadap prestasi belajar; terakhir, (5) H9, H10, dan H10: semakin buruk kualitas tidur (Sleep_Q) memiliki pengaruh negatif terhadap subjective well-being (SWB) dan prestasi akademik, serta semakin internal LOC berpengaruh positif terhadap subjective well-being (SWB).
Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi penggunaan smartphone harian akan meningkatkan penggunaan smartphone diwaktu yang tidak tepat (saat belajar dan diwaktu tidur), menurunkan kualitas tidur, dan menurunkan subjective well-being. Selanjutnya, semakin internal LOC mahasiswa, semakin rendah aktivitas penggunaan smartphone diwaktu tidur, semakin baik kualitas tidurnya, dan semakin tinggi juga subjective well-being nya.Keterbatasan dan Saran. Pene-litian selanjutnya diharapkan dapat mengeksplorasi faktor potensial yang mungkin dihubungkan dengan perilaku penggunaan smartphone. Dengan demikian, ada kemungkinan bahwa model statistik di dalam penelitian ini tidak lengkap dan diharapkan penelitian kedepan akan mengidentifikasi faktor-faktor tambahan untuk memperhitungkan variasi yang dijelaskan pada model tersebut.
Comments
Post a Comment