Psikologi Indigenous


STUDI FENOMENOLOGI KONTEKS BUDAYA JAWA DAN PENGARUH ISLAM: SITUASI PSIKOLOGIS KELUARGA DALAM MEMBANGUN EMPATI PADA REMAJA


Destareni Belda Puspawuni Wewengkang, Moordiningsih dari Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta


      Empati merupakan respon afektif yang berasal dari pemahaman kondisi emosional orang lain, perasaan yang sama dengan apa yang dirasakan orang lain. Empati memiliki peran penting pada perkembangan pemahaman sosial dan perilaku social positif dan berfungsi sebagai fondasi hubungan dan menjadi dasar koping dengan stress dan penyelesaian konflik (Barr dan Higgins, 2009).

Kebudayaan hidup orang Jawa tak luput dari kehidupan sosial dan budaya Jawa yang dilatarbelakangi oleh kebiasaan di masa lampau. Kebiasaan di masa lampau mengajarkan masyarakat untuk saling menghargai dan mengutamakan tata krama.  Setiap anggota kelompok hendaknya dapat mengembangkan keutamaan-keutamaan seperti rasa belas kasihan, kebaikan hati, kemurahan hati, kemampuan ikut merasakan kegelisahan orang lain, rasa tanggung jawab sosial, keprihatinan terhadap sesama, belajar berkorban demi orang lain dan menghayati pengorbanan itu sebagai nilai yang tinggi, tolong-menolong dan saling membantu satu sama lain (Asep, 2010).

Wujud empati pada masyarakat Jawa adalah dengan gotong-royong dan ewuh-pekewuh.Gotong-royong maksudnya adalah saling membantu dan melakukan pekerjaan demi kepentingan bersama tanpa adanya imbalan apapun. Salah satunya dengan rewang atau nyinom dalam acara hajatan tetangga atau saudara.Selain itu, bentuk empati lainnya adalah tepa slira yang memiliki arti kepedulian untuk merasakan dan membantu sebisanya orang yang menderita serta dapat mengendalikan dan menghadirkan rasa dalam komunikasi dengan orang lain.

Dilihat dari perkembangan jaman saat ini nilai empati pada remaja sudah mulai berkurang. Lingkungan tempat tinggal dan tempat bergaul sangat mempengaruhi merosotnya nilai empati. Lunturnya nilai empati pada remaja menyebabkan menurunnya nilai kepedulian dan tolong-menolong dalam kehidupan bermasyarakat.Remaja mulai meninggalkan kebudayaan seperti tidak menghargai orang yang lebih tua sampai yang paling terlihat adalah untuk membantu antar sesama misalnya di Jawa yaitu tradisi nyinom atau rewang. Menurunnya nilai-nilai empati tidak terlepas dari semakin canggih teknologi pada jaman sekarang yang membuat remaja lebih memilih melakukan hal-hal yang berhubungan dengan teknologi yang mudah dan cepat untuk memperoleh sesuatu sesuatu yang diinginkan. Seseorang ketika mempunyai acara hajatan akan lebih memilih untuk menyewa jasa catering dan menyewa gedung daripada harus membuat acara hajatan dirumah sendiri dan menyusahkan tetangga atau orang- orang terdekatnya dalam memasak.

Para orang tua mengajarkan kepada anaknya untuk menghargai dan menghormati orang lain. Anak dibiasakan untuk saling tolong menolong tanpa pamrih dan tidak membeda-bedakan satu dengan yang lainnya seperti dalam ajaran Islam yang mengajarkan tolong menolong setulus dan seikhlasnya agar bisa menjadi berkah. Dalam membentuk situasi psikologis yang diharapkan adanya peran dari keluarga. Meskipun tidak secara khusus berfokus pada struktur keluarga tetapi mampu menyoroti pentingnya iklim emosional keluarga dalam menciptakan kesejahteraan psikologis pada remaja dengan dukungan interaksi yang diberikan keluarga. Situasi psikologis yang kondusif di lingkungan tidak selamanya dapat terjadi sesuai dengan yang diharapkan. Dalam situasi psikologis yang kondusif, anggota keluarga mempersepsikan lingkungannya dengan keadaan yang dinamis, tenang, nyaman, damai, saling percaya, penuh kehangatan, dan terjadi interaksi yang aktif dalam relasi sosial antaranggota keluarga (Moordiningsih, Prastiti, dan Hertinjung, 2010).

Empati sebagai tanggapan afeksi seseorang terhadap suatu hal yang dialami orang lain seolah mengalami sendiri hal tersebut dan diwujudkan dengan bentuk menolong, menghibur, berbagi dan bekerja sama dengan orang lain (Walgito, 2002). Menurut Eileen dan Sylvina (dalam Taufik, 2000) empati adalah kegiatan berpikir individu mengenai rasa yang dihasilkan ketika berhubungan dengan orang lain. Sobur (2003) juga menambahkan pada dasarnya kemampuan empati merupakan peralatan antar pribadi yang sangat bermanfaat karena kemampuan empati adalah kemampuan untuk melihat dunia dari sudut pandang orang lain, kemampuan empati untuk menyelaraskan diri dengan yang mungkin dirasakan dan dipikirkan orang lain tentang suatu situasi betapapun berbedanya pandangan itu dengan pandangan seseorang.

dua komponen dalam empati yaitu komponen kognitif dan komponen afektif. Komponen kognitif difokuskan pada proses-proses intelektual untuk memahami perspektif orang lain dengan tepat. Sedangkan komponen afektif diartikan sebagai kecenderungan seseorang untuk memahami perasaan emosional orang lain. Kedua komponen tersebut mempunyai masing-masing dua aspek. Dalam komponen kognitif yaitu aspek perpective taking danfantasy, dan dalam komponen afektif, yaitu aspek empaty corcern, personal distress. Dari keempat aspek tersebut, Baron & Byrne (1997) menambahkan satu aspek yang merupakan komponen afektif yaitu feeling sympathetic.kemampuan berempati individu banyak dipengaruhi oleh derajat kematangan seseorang. Derajat kematangan merupakan besarnya kemampuan seseorang dalam memandang suatu hal secara proporsional.

Dalam kajian Islam contoh dari empati terdapat dalam H.R. Bukhari dan Muslim yang berbunyi “Perumpamaan kaum mukmin dalam kasih sayang dan belas kasih serta cinta adalah seperti satu tubuh jika satu bagian anggota tubuh sakit maka akan merasa sakit seluruh tubuh dengan tidak bisa tidur dan merasa demam.” Hal ini dimaksudkan bahwa setiap kaum muslim seharusnya memiliki ikatan emosional yang kuat sehingga perilaku yang muncul tidak hanya berakhir secara formalitas sebatas membantu korban bencana alam, dan menolong orang lain yang terkena musibah. Namun terlebih dahulu didasari karena rasa persaudaraan yang menumbuhkan perasaan saling merasakan apa yang dirasakan saudara sesama muslim yang lain. Selain itu bentuk empati dalam Islam juga tertuang dalam ajaran berpuasa. Allah berkehendak memberikan persamaan di antara hamba-hamba-Nya agar setiap manusia bisa merasakan kepedihan lapar dan rasa sakitnya, merendahkan hatinya dihadapan orang lemah, dan mengasihi orang lapar. Dalam Al-Quran, kelanjutan bentuk empati salah satunya dapat berupa perilaku menolong. Hal ini seperti dilukiskan dalam surat Al-Maidah ayat 2 yang artinya :”Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa”.

Keluarga adalah pusat pendidikan pertama dan utama. Dikatakan sebagai pusat pendidikan pertama, karena anak mulai dikenalkan dengan nilai-nilai baik dan buruk tentu ukurannya adalah norma-norma Islam yang pertama kali dari kedua orangtuanya atau orang-orang terdekat, yang berada dalam lingkungan keluarganya. Sedang dikatakan sebagai pusat pendidikan yang utama, karena yang lebih bertanggung jawab atas pendidikan peserta didik adalah orangtua mereka, meski mereka sudah mengenal masyarakat, masjid maupun sekolah (Sudarno, 2010). Situasi psikologis keluarga merupakan situasi yang kondusif dapat dimaknai bahwa situasi psikologis yang terjadi dalam kelompok adalah dalam keadaan dinamis, tenang, nyaman, damai, saling percaya, serta penuh kehangatan dalam relasi sosial antar anggota kelompok (Moordiningsih, Prastiti, dan Hertinjung, 2010). Dalam keluarga Jawa juga mengembangkan rasa belas kasihan, kebaikan hati, kemurahan hati, kemampuan untuk ikut merasakan kegelisahan orang lain, rasa tanggung jawab sosial, dan keprihatinan terhadap sesama.

Dalam bahasa dan sastra Jawa terkandung tata nilai kehidupan Jawa seperti norma, keyakinan, kebiasaan, konsepsi, dan simbol-simbol yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Jawa, toleransi, kasih sayang, tepaslira, gotong royong, andhap asor, kemanusiaan, nilai hormat, tahu berterimakasih, dan lainnya. Sikap andhap ashor berarti rendah hati yang mengandung makna tidak mau menonjolkan diri, meskipun sebenarnya memiliki kemampuan.


Mengenai situasi psikologis keluarga dalam membangun empati pada remaja (konteks budaya Jawa dan pengaruh Islam) dapat disimpulkan bahwa keluarga mengajarkan anak untuk mentaati ajaran agama seperti menjalankan sholat 5 waktu, mengaji, berpuasa dan sedekah. Dalam mengajarkan anak remaja berempati, orangtua memberikan contoh perilaku langsung kepada anak dengan menolong orang yang membutuhkan bantuan dan menceritakan musibah yang dialami orang lain. Melalui perilaku yang diamati dan dilihat anak, hal tersebut menjadikan kebiasaan anak remaja untuk berempati kepada orang lain.

Bentuk-bentuk empati remaja (konteks budaya Jawa dan pengaruh Islam) yang muncul ketika peduli terhadap keluarganya yaitu membantu orangtua di rumah ketika membutuhkan bantuan seperti memasak, mencuci, membersihkan rumah dan menjaga adik. Hal lain yang ditunjukan anak remaja ketika peduli terhadap temannya adalah membagi makanan, menjenguk teman yang sakit dan mengajak teman berangkat sekolah bersama. Sedangkan untuk kepedulian anak remaja ketika mampu peduli terhadap tetangga sekitar rumahnya adalah membantu tetangga yang sedang memiliki acara dan bergotong royong di lingkungan sekitar rumah.


Prinsip budaya Jawa dan prinsip budaya Islam tentang empati yang diterapkan oleh 

keluarga dirumah adalah dalam keluarga menerapkan prinsip bergotong-royong, ojo rumongso iso tapi iso rumongso, andhap asor, wong nandur bakale ngunduh, dan tangan mengkurep luwih becik tinimbang tangan mlumah. Sedangkan prinsip Islam yang diterapkan dirumah untuk peduli terhadap orang lain adalah dengan cara menjalankan sholat untuk mendoakan orang yang terkena musibah, berpuasa dan bersedekah.

Comments

Popular posts from this blog

laporan

Dawuh Masyaikh

referensi Submit jurnal