Dinisbatkannya hikmah singularitas Muhammad
Shallahu ‘Alaihi Wassalam sebab dia adalah ciptaan sempurna dari jenis manusia,
di mana alasan keseluruhan urusan penciptaan berawal dan berakhir dengannya.
Dia adalah seorang Nabi saat Nabi Adam masih berada di antara air dan tanah
liat dan melalui perbuatannya yang elemental, dia adalah penutup para nabi
(khatam an-nabiyyin/ the Seal of the Prophets), yang pertama dari tiga yang
tunggal karena semua singular yang lain berasal darinya.
Ia bukti yang jelas bagi Tuhannya,
yang telah diberikan totalitas firman-firman Ilahi, di mana hal-hal itu dinamai
oleh Nabi Adam Alaihi Wassalam, sehingga dia menjadi petunjuk dari triplisitas
miliknya yang menjadikan dirinya bukti dari dirinya sendiri. Setelah itu realitas
Muhammad Shallahu ‘Alaihi Wassalam ditandai dengan singularitas primal
(al-fardiyyah al-ula) dan penciptaannya melalui triplisitas (musallas), dia
berkata mengenai cinta adalah asal mula semua wujud yang ada. "Tiga hal
yang dicintakan kepadaku di dunia ini dari duniamu," dikarenakan
triplisitas menyatu di dalam Muhammad. Kemudian, dia menyebutkan wanita-wanita
dan wewangian dan menambahkan bahwa dia menemukan kenikmatan dalam shalat.
Dia menyebutkan wanita-wanita dan meninggalkan
shalat hingga akhir, karena, dalam perwujudan esensi dari wanita, wanita adalah
bagian dari pria. Pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri muncul sebelum
pengetahuannya tentang Tuhannya, yang terakhir ini merupakan hasil dari yang
pertama, sesuai dengan sabdanya, "Barang siapa mengenal dirinya, maka ia
mengenal Tuhannya." Dari sini orang dapat memahami bahwa orang tidak mampu
mengenal dan mencapai, yang merupakan satu makna, atau sebaliknya, bahwa
pengenalan (gnosis/makrifat) itu adalah mungkin. Menurut interpretasi yang
pertama, orang tidak dapat mengenal dirinya sendiri dan, oleh karena itu, tidak
dapat mengenal Tuhannya. Walaupun Muḥammad adalah bukti yang sangat jelas dari
Tuhannya, setiap bagian kosmos adalah petunjuk untuk asal mula nya, yang merupakan
Tuhannya. Jadi, pahamilah!
Wanita-wanita dicintakan kepada Muḥammad
Shalllahu Alaihi Wassalam dan dia memiliki kasih sayang yang besar pada mereka
karena wanita-wanita selalu digambarkan menurut bagiannya tersebut. Ini dia
jelaskan sebagai yang datang dari Realitas, dalam firman-Nya berkenaan dengan
penciptaan manusia yang elemental, "Maka, Aku telah meniupkan ke dalamnya
ruh (ciptaan) Ku! Allah menerangkan Diri-Nya seperti memilki kerinduan terhadap
manusia seperti halnya, "Wahai Dawud, sangat indahkan suatu pertemuan yang
khusus berkata lebih lagi, dalam suatu perkataan tentang Dajjal (Antichriet),
"Tidak lebih pun darimu. yang akan melihat Tuhannya hingga dia mata"
Seungguhnya, hampir tidak mengejutkan bahwa betapa Tuhan melukiskan kerinduan.
Dengan demikian, Dia rindu pada orang-orang yang disayangi, melihat mereka dan
menginginkan bahwa mereka dapat melihat Dia, walaupun keadaan mereka tidak
memungkinkan itu. Hal ini seperti dalam firman-Nya, "(Kami akan menguji
mereka) hingga Kami mengetahui, walaupun Dia pada dasarnya mengetahui mereka.
Dengan demikian, Dia rindu pada mereka karena sifat khusus ini, yang tidak
dapat diwujudkan kecuali setelah kematiannya, sementara kerinduan mereka
pada-Nya dipelihara oleh sifat tersebut, seperti Dia berfirman, dalam Firman
(hadits) tentang keragu-raguan (at taraddud), "Aku tidak ragu-ragu pada
apa yang Aku lakukan sebanyak dalam pengambilan jiwa hamba-Ku yang setia. Dia
membenci kematian sebanyak Aku benci untuk menyakitinya; tapi dia harus menemui
Ku."622 Dia memberikan kabar gembira pada hambanya yang setia sebagai
ganti dari cerita bahwa dia harus mati, kalau tidak dia akan disusahkan pada
penyebutan kematian, walaupun dia tidak dapat bertemu Allah hingga sesudah
kematian, seperti yang dia katakan, "Tidak seorang pun darimu akan melihat
Tuhannya hingga dia mati." Dia berkata, “Dia harus menemuiku",
kerinduan kepada Allah dikarenakan wujud hubungan ini. Yang Dicintai rindu
untuk melihatku Dan aku lebih rindu untuk melihatnya.Jantung-jantung bergup
kencang, Sags and manghaling jalan Aku merintih dalam keluhan juga. Karena Dia
telah menjelaskan bahwa Dia bernapas ke dalam manusia dari ruh-Nya, Dia pada
dasarnya adalah kerinduan untuk Diri-Nya sendiri. Kemudian, pertimbangkanlah
bagaimana, karena ruh-Nya, ciptaan-Nya ada pada citra-Nya sendiri.
Karena pembuatan manusia terdiri dari
empat elemen atau penghibur-penghibur pada tubuh, pernapasan-Nya menghasilkan
panas, karena uap lembab pada tubuh. Dengan demikian, melalui pembuatannya, ruh
manusia adalah sebuah api, oleh karenanya Allah membicarakannya pada Mūsa
bentuk api, di mana Allah berbuat apa yang Dia inginkan. Ketika pembuatannya
bersifat alamiah, jiwanya akan menjadi cahaya. Disebut "peniupan"
(nafkh) karena berasal dari napas sang Pengasih, dan ia melalui napas ini, yang
merupakan peniupan, sehingga esensinya terwujudkan. Ini menurut kecenderungan
abadi dari sesuatu yang meniup sehingga yang menjulang adalah api dan bukannya
cahaya, napas sang Pengasih menjadi sangat implisit di mana manusia adalah
manusia.
Kemudian Allah mengeluarkan dari pria
sebuah wujud pada citranya, yang disebut wanita, dan karena wanita tersebut
muncul pada citra pria, sang pria merasakan kerinduan yang mendalam padanya,
sebagai sesuatu yang merindukan dirinya sendiri, sedangkan sang wanita
merasakan kerinduan pada sang pria, sebagai seseorang yang rindu pada yang
merindukannya. Jadi wanita diciptakan untuk dicintai pria, karena Allah
mencintai apa yang telah diciptakan-Nya pada citra milik-Nya dan padanya yang
telah diciptakan-Nya di mana para malaikat tidak mampu, meskipun mereka
memiliki kekuatan besar atau tingkat dan sifat mulia. Dari situ, berakarlah
afinitas (munasabah) antara Allah dan manusia, dan citra Ilahi adalah afinitas
yang paling besar, paling mulia, dan paling sempurna. Hal itu karena ia
merupakan suatu pasangan (new) syzygy) yang memolarisasi wujud realitas,
sebagaimana wanita, dengan kejadiannya menjadi wujud, memolarisasi kemanusiaan,
dengan membuat darinya suatu pasangan. Jadi, kita memiliki tiga bagian yang
tersusun Allah, pria, dan wanita; pria rindu pada Tuhannya yang merupakan asal
mulanya, sebagaimana wanita rindu pada pria. Tuhannya menjadikan wanita
berharga bagi pria, sebagaimana Allah mencintai sesuatu yang ada pada
citra-Nya. Cinta timbul hanya dari seseorang yang memiliki wujud lainnya,
sehingga pria mencintai wujud yang dimilikinya, yang merupakan realitas, yang
mana Muḥammad sabdakan "dicintakan kepadaku" dan bukan "aku
cinta" secara langsung dari dirinya sendiri. Cinta pria tersebut adalah
untuk Tuhannya di mana dia berada dalam citra-Nya. Cinta ini pada gilirannya
membuat dirinya mencintai istr karena dia mencintai istrinya melalui cinta
Allah atasnya, menurut pola cara Ilahi. Ketika seorang pria mencintai seorang
wanita, pria itu berusaha menyatu dengan sang wanita, sehingga memungkinkan
akan bersatu dalam cinta, dan pada lingkungan elemental tidak terdapat
penyatuan yang lebih besar daripada penyatuan antarseks (nikâh). Ini secara
tepat dikarenakan hasrat yang begitu meliputi semua bagiannya sehingga sang pria
diperintahkan untuk menjalankan pencucian utama (igtisäl). Jadi, kesucian
(Tahärah) adalah mutlak, sebagaimana peniadaan (fana) pria pada wanita adalah
total pada saat penyempurnaan. Allah cemburu pada hambanya bahwa sang hamba
dapat menemukan kesenangan pada yang lain selain Dia. Jadi, Dia membersihkan
sang hamba melalui pencucian (Taharah), sehingga sang pria difanakan
(annihilated), karena tidak ada sesuatu pun selain Dia yang dengan-Nya sang
pria dapat melihat wanita.
Ketika pria menatap (syahada) realitas pada wanita,
dia melihat-Nya pada suatu aspek pasif (munfa'al), sedangkan ketika dia
menatap-Nya pada dirinya sendiri, sebagai makhluk di mana wanita(M)
"melalui pengundursa "wanita-wanita. De non tingkatan mereka (pang
sebenarnya ada posisi pasif mereka. Dalam hubungan ånge pris. sebagai alam
semesta, Allah mewahyakan bentuk bant melalui penunjukan perintah dan kehendak
Bahi pada wanita, yang pada tingkat-tingkat bentuk elemental dilambangkan
melalui penyatuan suami istri, konsentrasi spiritual pada bidang ruh ruh yang
berkilauan (al-arwah an-nuriyyah) dan pengurutan dasar pikiran terhadap suatu
konklusi (pada alam pemikiran), semua yang berhubungan pada penyempurnaan
Singularitas Primordial (al-fardiyyah al-ülä) dalam semua aspek ini.
Barang siapa mencintai wanita-wanita
dalam cara ini, maka ia mencintai dengan suatu cinta Ilahi, sedangkan pria yang
cintanya pada wanita dibatasi pada gairah alamiah, menghilangkan semua
pengetahuan yang sebenarnya tentang hasrat Ilahi itu. Bagi orang seperti ini,
wanita dipandangnya sebagai bentuk belaka, tanpa ruh, sekalipun bentuk itu pada
dasarnya dikaruniai ruh. Ini adalah kehampaan karena orang seperti ini
mendekati istrinya atau wanita-wanita lainnya semata-mata untuk sekadar
memenuhi kesenangannya akan wanita tersebut, tanpa menyadari sesuatu yang
kesenangan-Nya benar-benar ada. Dengan demikian, pria tersebut benar-benar
tidak mengenal dirinya, sebagaimana seseorang yang asing tidak mengenal pria
tersebut hingga dia menyatakan identitasnya pada orang asing itu. Seperti yang
dikatakan orang:Mereka benar dalam pengandaian bahwa aku jatuh cinta Hanya
mereka tidak mengetahui dengan siapa aku jatuh cinta, Pria seperti ini
benar-benar jatuh cinta dengan kesenangan (iltizāz) dan, konsekuensinya,
mencintai tempat penyimpanan kesenangan itu, yang merupakan wanita, kebenaran
dan makna nyata dari tindakan menjadi hilang pada sang pria. Jika sang pria
mengetahui kebenaran, dia akan mengetahui siapa yang menyebabkannya menikmati
dan yang merupakan sang Penikmat; kemudian dia akan menjadi sempurna.
Karena secara ontologis wanita lebih
rendah ketimbang pria, berdasarkan firman-Nya, "Para pria memperoleh
sebuah tingkatan di atas para wanita, begitu juga makhluk, adalah interior
tingkatannya dari sesuatu yang menciptakan pria pada citranya, meskipun
penciptaan pria dibuat pada citra-Nya. Berkat superioritas di mana Dia
dibedakan darinya, Dia berada di atas semua kebutuhan kosmos dan merupakan
perantara primer, bentuk atau citra menjadi suatu perantara hanya pada suatu
pengertian sekunder, karena citra pria tidak memiliki keunggulan, yang
sesungguhnya dimiliki Allah. Esensi-esensi abadi secara sama dibedakan menurut
tingkatan tingkatan mereka dan gnostikus (ārif) memberikan segala sesuatu hak
yang tepat. Jadi dikatakan bahwa cinta Muhammad bagi wanita-wanita berasal dari
cinta Ilahi dan karena Allah "memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk
kejadiannya yang pada pokoknya merupakan haknya. Dia memberikan pada mereka
menurut suatu manfaat tertentu dalam esensi yang senantiasa dipengaruhi dari
yang bermanfaat.
Dia mendahulukan wanita-wanita karena
mereka adalah tempat penyimpanan kepasifan,sebagaimana alam semesta,
melaluibentuknya, datang sebelum segala sesuatu yang mengasalkan wujud mereka
dari sang wanita. Kenyataannya, alam adalah napas sang Pengasih di mana
terbentang bentuk-bentuk kosmos yang lebih tinggi dan lebih rendah, karena
penembusan napas yang diperlihatkan pada Substansi Primordial (al-jawhar
al-hayúláni), khususnya pada alam benda-benda angkasa, pengalirannya menjadi
berbeda dalam hal eksistensi ruh-ruh yang berkilauan dan aksiden aksiden
(a'rad).
Sang Rasul selanjutnya memberikan hak
yang lebih tinggi pada feminin (ta'nīs) melebihi maskulin (tazkir). Dengan cara
seperti ini, sang Rasul bermaksud menyampaikan suatu perhatian dan pengalaman
khusus wanita-wanita. Maka, dia berkata Šalas (tiga) dan bukanlah Salašah, yang
digunakan untuk jumlah kata-kata benda maskulin. Ini adalah luar biasa, pada
yang dia juga sebutkan wewangian, yang merupakan kata benda maskulin, dan
orang-orang Arab biasanya membuat jenis kelamin pria lebih unggul. Dengan
demikian orang akan berkata, "Pengikut Fatimah dan Zayd pergi (penggunaan
kata ganti orang ketiga maskulin jamak)," dan bukan kata ganti orang
ketiga feminin jamak. Dalam cara ini, mereka memberikan pilihan pada kata benda
maskulin, sekalipun hanya terdapat satu kata benda seperti itu yang bersama
dengan beberapa kata benda feminin. Jadi, walaupun sang Rasul seorang Arab, di
sini dia memberikan perhatian khusus pada signifikansi cinta yang dimilikinya,
dengan melihat bahwa dia sendiri tidak dapat memilih cinta itu. Allah lah yang
mengajarinya apa yang tidak diketahuinya, dan rahmat Allah pun padanya
melimpah. Oleh karena itu, Dia memberikan keutamaan pada wanita di atas pria
melalui perkataan Salās. Betapa dapat dipahami apa yang diperhatikan sang Rasul
mengenai realitas realitas spiritual, dan betapa besar perhatiannya pada yang
pantas mendapat keutamaan.
Selanjutnya, dia membuat istilah terakhir (shalat)
yang berhubungan dengan yang pertama (wanita-wanita) dalam feminitasnya, dengan
menempatkan term maskulin (wewangian) di antara keduanya. Dia memulai dengan
"wanita-wanita" dan mengakhiri dengan "shalat", yang
merupakan kata benda feminin. Keduanya adalah kata benda feminin. Kata benda
maskulin wewangian muncul di antara shalat dan wanita-wanita, sebagaimana
begitu juga halnya dengan wujud eksistensialnya, karena pria ditempatkan antara
esensi (sebuah kata benda feminin) dari yang dia wujudkan, dan wanita yang
diwujudkan dari pria. Jadi, pria berada di antara dua entitas feminin, yang
satu feminin substantif dan yang lain feminin dalam realitas, wanita-wanita
menjadi feminin dalam realitas, sedangkan shalat tidak. Wewangian diletakkan di
antara mereka sebagaimana Adam diletakkan di antara esensi, yang merupakan
sumber semua eksistensi, dan Hawa, yang eksistensinya berasal dari Ādam.
Term-term lain seperti Sifah (sifat) dan qudrah (kemampuan) adalah feminin.
Sesungguhnya, apa pun aliran pemikiran yang Anda anut, Anda akan menemukan
term-term feminin secara menonjol. Bahkan, penganut kausalitas mengatakan bahwa
Allah adalah "sebab" ('illah) adanya kosmos, dan 'illah adalah
feminin. Adapun hikmah wewangian dan penempatannya sesudah
"wanita-wanita", dikarenakan bau harum yang dibangkitkan wanita
wanita, yang sangat menggembirakan dari wewangian yang dialami dalam merangkul
sang kekasih, sebagaimana yang dikatakan mereka dalam perkataan yang lazim.
Ketika Muḥammad diciptakan sebagai
seorang hamba yang murni, dia tidak memiliki ambisi kepemimpinan, tetapi
kedudukan dan ketakberdayaan yang berlanjut (di hadapan Tuhannya), sebuah
ciptaan yang pasif, hingga Allah memengaruhinya, ketika Dia menganugerahkan
padanya suatu peranan aktif dalam alam: napas (alam al-anfäs), yang merupakan
wewangian eksistensi yang istimewa. Jadi, Dia menciptakan wewangian yang napas
oleh dia, dengan menempatkannya sesudahwanita-wanita. Dia dicintai memerhatikan
dengan tingkatan-tingkatan Allah dalam firman-Nya, "(Dialah) Yang Maha
Tinge melihat bahwa Dia diteg Pengasih (ar-Rahman), sehing Carsy) diakibatkan
oleh rahmat Ku meliputi segala sesuatu. Itu adalah Kas yang meliputi segala
sesuatu, sedangkan sang Pengasih adalah penghuninys, muitalui realitas rahmat
yang dimiliki, sang Pengasih menyerap kosmos, seperti telah kami jelaskan berkali-kali,
dalam karya ini dan juga dalam Al-Futuḥāt al-Makkiyyah.632 Allah sendiri telah
meletakkan wewangian (Tib, juga kebaikan) pada konteks penyatuan pasangan
(an-nikāḥi) berkenaan dengan keadaan tidak bersalah 'A'isyah ketika Dia
berfirman, "Wanita-wanita yang tidak baik adalah untuk laki-laki yang
tidak baik, dan laki-laki yang tidak baik adalah buat wanita wanita yang tidak
baik (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan
laki-laki yang baik adalah untuk wanita wanita yang baik (pula). Mereka (yang
dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka. Dengan demikian, Dia
membicarakan mereka sebagai bau yang enak karena pembicaraan menyatakan napas
secara tidak langsung, yang merupakan esensi bau harum, yang keluar dari mulut,
dengan bau enak atau tidak enak, menurut pengungkapannya. Namun demikian, wujud
pada sumber Ilahi, semuanya bau yang enak dan baik, tetapi sesuai sebagaimana
wewangian diakui-oleh pendirian yang bertentangan-atau tidak diakui. Wewangian
dapat dipertimbangkan baik atau buruk. Tentang bawang putih, Muḥammad bersabda,
"Itu adalah satu siung yang bau busuknya aku benci, dia tidak berkata
"aku membencinya". Jadi, itu bukanlah sesuatu yang dibenci, tetapi
hanyalah bahwa persoalan berasal darinya. Sesuatu yang tidak disukai seperti
ini dapat menjadi persoalan kebiasaan, antipati alamiah, hukum, defisiensi,
atau sesuatu yang lain. Jika kemudian perbedaan antara yang baik dan buruk
dibuat, maka Muhammad dibuat untuk mencintai yang baik dan bukan yang buruk.
Sekarang dikatakan bahwa malaikat-malaikat diganggu oleh bau busuk yang timbul
dari perburukan yang dihubungkan dengan penciptaan (manusia) yang elemental ini
karena dia dibuat dari "tanah liat kering (yang berasal) yakni tentang bau
busuk yang bermacam ng para malaikat menemukan dia yang menjijikkan a. Dalam
cara yang sama, melalui sifatnya, kandung song kok diganggu oleh bau mawar,
yang walaupun e harum, adalah berbau jelek (malodorous) k. Jadi, seseorang
dengan sifat seperti ini, gan sah, ditolak oleh kebenaran ketika orang ya dan
bergembira dalam dusta, sebagaimana orang-orang yang percaya kepada yang batil
dan an, dengan menggambarkan mereka sebagai og kalah, "Mereka itulah
orang-orang yang meng dak dapat menceritakan kebaikan dari sang bumukk, miliki
persepsi (idrāk).
Ambillah ciptaan hanya untuk sesuatu,
yang, dalam kenyataan yang ada. Kita dapat bertanya apakah dalam kosmos yang
hanya melihat kollag dan tidak mengetahui keburukan u Rigo tidak ada, karena
pada sumber dari mana yang merupakan Al-Haqq, kita menemukan dana Ban yang
tidak disukai, yang buruk menjadi yang dibent, sedangkan yang baik adalah yang
dicintai, Kosmos tercipta dalam citra Allah (makrokosmos) dan manusia telah
diciptakan pada kedua citra (mikrokosmos), sehingga tidak dapat menjadi apapun
yang hanya melihat se dapat membedakan yang adalah buruk adai gengis pengalaman
non in lebih mendominasi ketina bahwa seseorang dapat men tercipta, hal yang
demikian tidak mungkin. melekat pada yang baik dan yang buruk. Det sudurnys. adalah
baik dan yang baik adalah buruk Seungngs, dak kebajikan, kecuali, dalam satu
hal, tampak buruk ak at pang buruk, dan demikian juga sebaliknya.
Mengenai elemen ketiga di mana
singularitas menjadi dilengkapi, ia adalah shalat. Dia bersabda, "Dan, penyenang
mataku ada pada shalat, karena shalat adalah (suatu keadaan tentang)
perenungan, yang menciptakan wacana keintiman antara Allah dan hamba-Nya. Dia
berfirman, "Ingatlah Aku, dan Aku akan mengingatmu," karena tindakan
per dian memilahkan secara adil antara Allah dan hamba-Nya, sebagian untuk
Allah dan sebagian untuk hamba-Nya, seperti dalam hadits shahih, "Aku
telah membagi shalat sama-sama antara Aku dan hamba-Ku, sebagian untuk-Ku dan
sebagian untuk hamba-Ku yang juga dapat memiliki apa pun yang dia
minta."639 Jadi, ketika sang hamba berkata (dalam membaca Al-Fatihah),
"Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,"40 Allah
berfirman, "Hamba-Ku sedang mengingat-Ku." Ketika sang hamba berkata,
"Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam," Allah berfirman,
"Hamba-Ku sedang memuji-Ku." Ketika sang hamba berkata, "Yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang," Allah berfirman, "Hamba-Ku sedang
menyanjung-Ku." Ketika sang hamba berkata, "Yang menguasai Hari
Pembalasan," Allah berfirman,Hamba-Ku sedang memuliakan-Ku." Jadi,
seluruh separuh yang pertama dari Al-Fatihah ini adalah kepunyaan Allah.
Kemudian, sang hamba berkata, "Hanya Engkau-lah yang kami sembah dan hanya
kepada Engkau-lah kami memohon pertolongan," dan Allah berfirman,
"Ini dibagi antara Aku dan hamba-Ku; dan baginya adalah apa pun yang dia
minta," jadi mengenalkan suatu elemen pengikutsertaan pada ayat ini.
Ketika sang hamba berkata, "Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu)
jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan
(jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat,"
Allah pun berfirman, "(Ayat-ayat) ini disediakan untuk hamba-Ku yang dapat
memiliki apa pun yang dia minta." Dengan demikian, ayat-ayat terakhir ini
hanyalah untuk sang hamba, sebagaimana ayat-ayat yang pertama hanyalah
kepunyaan Allah. Dari sini, orang bisa menyadari keperluan pembacaan ayat
"Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam," karena barang siapa
mengabaikannya maka belum dapat melakukan shalat secara tepat, yang dibagi
antara Allah dan hamba-Nya.
Menjadi suatu pembahasan, yang juga suatu pengingatan,
karena siapa pun yang mengingat Allah maka dia duduk dengan Allah dan Allah
duduk dengannya, seperti disebutkan dalam hadits, "Aku adalah teman
seseorang yang mengingat-Ku. Siapa pun yang hadir di hadapan seseorang yang
sedang diingatnya, dia melihat temannya. Dalam permasalahan seperti ini,
terdapat penyaksian (musyáhadah) dan penglihatan (ru'yah), kalau tidak dia
tidak melihat Nya. Dari sini, orang yang sedang shalat akan dapat memastikan
tingkatannya pada makrifat, yakni apakah dia dapat melihat, dalam shalat, dalam
cara ini ataukah tidak. Jika dia tidak dapat melihat Nya, biarkanlah dia
menyembah-Nya seolah-olah dia melihat-Nya, dengan membayangkan-Nya pada qiblah
sepanjang munajat-Nya, dan membiarkannya mendengarkan dengan sangat
berhati-hati atas apa yang Allah dapat katakan padanya dan menjawab shalatnya.
Jika ia adalah seorang pemimpin
(imam) hagi donia kaluarga atau komunitas)-nya dan para malaikat shalat
dengannya, dalam shalat dia memiliki tingkatan yang sama dengan sang Rasul yang
mewakili Allah. Sesungguhnya, setiap orang yang shalat adalah imam karena para
malaikat shalat di belakang seseorang yang sedang shalat sendirian, sebagaimana
dinyatakan oleh hadits. Ketika dia berkata, "Allah mendengar manusia yang
memuji-Nya, dia membiarkan orang-orang di belakangnya tahu bahwa Allah telah
mendengarnya, atas mana para malaikat dan lainnya memberikan jawaban, "Wahai
Tuhan kami, milik-Mu-lah puji-pujian," karena dalam pada itu, Allah
sendirilah yang berfirman pada lidah hamba-Nya, "Tuhan mendengar seseorang
yang memuji-Nya."
Kemudian, pertimbangkanlah keagungan
tingkatan shalat ini, serta pertimbangkan pula sampai di manakah tingkatan
orang yang melakukannya. Namun, seseorang yang tidak mencapai perenungan
tafakkur dalam shalatnya maka tidak dapat mencapai puncak dan tidak dapat
menemukan penyenang mata (qurrah ayn) yang sebenarnya di dalamnya. Karena,
orang tersebut tidak dapat melihat Dia yang telah bermunajat dengannya. Jika
dia juga tidak dapat mendengar jawaban Realitas, dia tidak cukup dapat
mendengarkan. Sesungguhnya, orang yang tidak bersama Tuhannya dalam shalat,
yang tidak dapat melihat atau pun mendengar-Nya, pada dasarnya tidaklah shalat,
karena dia tidak mendengarkan dan menyaksikan Allah. Sampai shalat berakhir,
tidak ada sesuatu pun yang menyerupai ritus shalat yang mampu mencegah
keasyikan dari hal-hal lainnya.
Dalam shalat, unsur yang sangat penting adalah ingatan
kepada Allah, lantaran terdiri dari kata-kata dan tindakan. Kita telah
menerangkankeadaan Manusia Sempurna (ar-rajul al-kamil) dalam shalat, dalam
Al-Futuhat al-Makkiyyah. Allah berfirman, "Sesungguhnya, shalat itu
mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan munkar, dengan melihat bahwa orang
yang shalat dilarang me malingkan dirinya terhadap sesuatu yang lain ketika dia
sedang melakukannya. Dan, sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih
besar keutamaannya daripada ibadah-ibadah yang lain, yakni bahwa dalam konteks
shalat, pengingatan Allah pada hamba-Nya ketika Dia menjawab permintaannya
adalah lebih besar. Lagi pula, dalam shalat pujian sang hamba kepada Allah
adalah lebih besar daripada pengingatannya kepada-Nya, karena semua kekuasaan tertinggi
diberikan kepada Allah. Dengan demikian, Dia berfirman, "Sesungguhnya,
pada yang demikian itu benar-benar terdapat peringatan bagi orang-orang yang
mempunyai akal dan atau yang mempergunakan pendengarannya, sedang dia
menyaksikannya." Pendengaran berasal dari pengingatan akan Allah pada
hamba-Nya dalam shalat.
Dengan demikian, tentang pergerakan
yang dapat dimengerti di mana kosmos ditransformasikan dari non-eksistensi
menjadi eksistensi, shalat memiliki tiga fase gerakan, gerakan vertikal di mana
seorang yang shalat berdiri tegak, gerakan horisontal di mana orang yang shalat
melakukan ruku', dan gerakan ke bawah yang merupakan sujud. Gerakan manusia
adalah vertikal, gerakan hewan adalah horisontal, dan gerakan tumbuh-tumbuhan
adalah ke bawah, sedangkan benda-benda yang mati tidak memiliki gerakan nyata,
karena sebuah batu bergerak hanya jika benda menggerakkannya. yang lain Dalam
sabdanya, "Dan, penyenang mataku diciptakan dalam shalat,' dia tidak menghubungkan ini pada dirinya
sendiri karena pembukaan rahasia-Diri (tajalli) Allah pada seseorang yang
shalat berasal dari Allah dan tidak dari orang yang sedang shalat.
Sesungguhnya, jika dia tidak menyebutkan ini melalui dirinya sendiri, Allah
pasti memerintahkannya shalat tanpa pewahyuan Diri-Nya padanya. Karena datang
padanya sebagai sebuah karunia, perenungan tafakkur juga adalah sebuah karunia.
Dia bersabda, "Dan, penyenang mataku diciptakan dalam shalat," yang
berarti melihat Yang Dicintai, yang membawa penyenang pada mata yang mencintai.
Ini dikarenakan kata qurrah (yang menyenangkan) berasal dari kata istiqrar
(penentuan), sehingga mata sang pencinta dapat ditentukan (pada Yang Dicintai)
terhadap peniadaan semua yang lain. Hal tersebut adalah untuk alasan ini, bahwa
melihat-lihat tidak diperbolehkan dalam shalat, karena dengan cara ini setan
mencoba mencuri sesuatu dari shalat sang hamba untuk menghalanginya memandang
Yang Dicintainya. Jika Allah sungguh-sungguh menjadi kekasih seseorang, dia
hanya akan melihat qiblah dalam shalatnya. Setiap manusia dalam dirinya sendiri
mengetahui apakah ibadahnya merupakan jenis ini ataukah tidak, "manusia
menjadi saksi atas dirinya sendiri".Sesungguhnya, setiap manusia mampu
membedakan antara yang salah dari yang benar dalam dirinya sendiri, karena tidak
ada satu pun yang sama sekali tidak diketahui keadaannya. Hal ini menjadi
persoalan pengalaman-diri (żawqi).
Shalat juga memiliki aspek yang lain
di mana Allah telah memerintahkan kita untuk menunaikan shalat atas-Nya dan
telah memberitahukan kita bahwa Dia menyalati kita, shalat dari kita dan
dari-Nya. Ketika Allah shalat, Dia melakukan shalat tersebut atas nama-Nya,
Yang Akhir (al-Akhir), yang datang sesudah penciptaan sang hamba. Hamba
menghadirkan Allah dalam dirinya (dalam hatinya), baik berdasarkan penalaran diskursif
maupun melalui pengetahuan tradisional (taqlid). Inilah "Allah dalam
keyakinan" yang bermacam-macam menurut kecenderungan yang melekat pada
orang tertentu; sebagaimana perkataan al-Junayd ketika ditanyai tentang gnosis
mengenai Allah dan sang gnostikus, "Warna air adalah sama seperti warna
wadahnya," yang merupakan jawaban yang sangat tepat, yang menunjukkan
masalahnya sebagaimana adanya. Maka, inilah Allah yang shalat bagi kita. Ketika
kita shalat, kita juga menghasilkan nama yang akhir, yang menempati posisi yang
sama seperti Dia yang memiliki nama itu. Hal itu karena bagi Nya, kita hanyalah
seperti keadaan kita yang diperintah, dan Dia melihat kita hanya dalam bentuk
yang kita "sediakan" pada-Nya, karena orang yang shalat selalu tertinggal
di belakang imam jamaah shalat yang diimami. Allah berfirman,
"Masing-masingnya telah mengetahui (cara) shalat dan menyanjung-Nya, yakni
kadar kelambatannya dalam penyembahan Tuhannya, sebagaimana juga cara
pentasbihan yang menegaskan transendensi Allah menurut kecenderungan abadinya.
Sesungguhnya, tiada sesuatu pun yang tidak memuji akan kebaikannya dan
senantiasa memohon ampunan Tuhannya. Itulah mengapa penyembahan sang kosmos
secara terperinci, dalam setiap bagian-bagiannya, tidak dipahami oleh manusia.
Dalam cara yang lain, kata ganti (pada frase, pujian-Nya) juga dapat
menunjukkan hamba yang sedang bertasbih, pada firman-Nya (melalui perubahan
caranya dibaca), "Tidak ada kecuali Allah yang memuliakan shalat,"
berarti pujian dalam hal demikian. Jadi, kata ganti pada pujian Nya menunjukkan
hal itu berkat pujian yang dipanjatkan kepada Nya pada apa yang diyakini,
karena dia memuji Allah hanya dari keyakinannya yang telah ia ikatkan pada
dirinya sendiri. Dengan demikian, apa pun perbuatan yang ia tampilkan, akan kembali
pada dirinya sendiri. Sesungguhnya, pada kenyataannya, dia hanya memuji dirinya
sendiri karena, tanpa keraguan pada pujian yang dihasilkan, seseorang sedang
memuji yang menghasilkan pujian tersebut, kepuasannya atau yang lain
mengikatkan kembali pada. seseorang yang telah membuatnya. Demikian pula, Allah
meyakinkan diciptakan bagi seseorang yang telah memandangops. hasilnya sendiri,
sehingga pujiannya atas yang ia yakini ada pada pujian-diri. Itulah mengapa dia
menolak keyakinan-keyakinan yang berbeda dari orang lain, walaupun dia tidak
melakukan seperti itu jika ia tidak netral. Namun demikian, pemilik objek
penyembahan pribadi ini biasanya tidak diketahui keinginannya dalam objek yang
diyakini orang lain mengenai Allah. Jika ia benar-benar memahami apa yang
al-Junayd katakan berkenaan dengan warna air menjadi warna wadahnya, dia akan
membolehkan setiap penganut keyakinannya dan akan mengakui Allah dalam setiap
bentuk dan dalam setiap keyakinan. Bagaimanapun, sikapnya hanyalah sebagai
masalah pendapat dan bukanlah pengetahuan. Jadi, Dia berfirman, "Aku ada
pada dugaan hamba-Ku tentang Aku, yakni bahwa Dia diwujudkan pada manusia hanya
dalam bentuk keyakinan manusia tersebut, apakah sifatnya umum ataukah khusus.
Allah dalam keyakinan-keyakinan adalah subjek bagi pembatasan-pembatasan
tertentu, dan Allah-lah yang dikandung dalam hati hamba-Nya, karena Allah Yang
Mutlak tidak dapat dikandung melalui apa saja, esensi setiap sesuatu dan
Diri-Nya sendiri. Sesungguhnya, seseorang tidak dapat mengatakan bahwa Allah
dalam keyakinan-keyakinan meliputi dirinya sendiri atau bahwa Dia tidak seperti
itu; jadi pahamilah! Allah membicarakan kebenaran dan Dia satu-satunya yang
menunjuki jalan.
Comments
Post a Comment